Langsung ke konten utama

PERAN AYAH DAN BUNDA DALAM PENDIDIKAN FITRAH SEKSUALITAS ANAK

Subhanallah, ternyata tanpa sadar gaya pengasuhan rentan LGBT itu sudah Orang tua lalukan sejak anak masih dalam rahim Ibunya. Semenjak anak berada di rahim Ibunya, seringkali kita orang tua memiliki harapan berlebih atas jenis kelamin yang diinginkan. Begitupun setelah dilahirkan ternyata ketetapan Allah tidak sesuai yang diharapkan maka orang tua kerap kali kecewa dan inipun akan menimbulkan “kerenggangan” hubungan bathin antara ayah bunda dengan anaknya, sehingga hal inipun memiliki dampak psikologis tertentu. Lalu Ekspektasi akan melanjutkan preferensi, dan preferensi akan menimbulkan pola dan gaya asuh yang agak memaksakan pengasuhan sesuai dengan jenis kelamin yang diharapkan (Adriano Rusfi, 2018).

Ketika ayah mengharapkan seorang anak laki-laki, lalu yang lahir adalah seorang anak perempuan, maka terkadang anak perempuan tersebut menjadi kelaki-lakian atau sebutan awam kita adalah tomboy. Tentunya hal ini bukan tanpa kebetulan, karena tentunya ada efek pengasuhan ayah yang harusnya ditujukan ke anak laki-laki tetapi diterapkan pada anak perempuannya, misal saja permainan dan aktivitas ayah anak yang sangat maskulin, pakaian favorit yang lebih nyaman memakai style pakaian laki-laki, sampai tindak tanduk dan karakter yang tegas dan maskulin khas laki-laki pun akhirnya tumbuh pada diri anak perempuannya.

Maka sebaiknya, pendidikan fitrah seksualitas itu kita pahami dengan baik sebelum kita Orangtua berencana akan memiliki anak, agar apa yang kita harapkan, pikirkan, dan lakukan kelak tidak mencederai fitrah anak-anak, dan fitrah seksualitasnya akan tumbuh dengan baik.

Apa itu fitrah seksualitas? Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang berdikir, merasa, bersikap sesuat dengan fitrahnya (bekal penciptaan Allah) baik sebagai laki-laki sejati maupun sebagai perempuan sejati, karena setiap anak dilahirkan dengan jenis kelamin lelaki dan perempuan. Bagi manusia, jenis kelamin ini akan berkembang menjadi peran seksualitasnya, tidak hanya ketika mereka pada masa anak-anak, tetapi lebih dari itu adalah mempersiapkan mereka menjalani perannya kelak. Anak perempuan akan menjadi peran keperempuanan dan kebundaan sejati, dan anak lelaki menjadi peran kelelakian dan keayahan sejati. (Harry Sentosa, 2017).

Lalu siapakah orang tua yang paling memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkan fitrah seksualitas anak ini? Tidak cukup hanya Ayah atau hanya Ibu saja yang berperan , tapi keduanya memiliki peran yang sama pentingnya dalam menumbuhkan fitrah seksualitas ini agar tumbuh dengan baik.

Anak harus merasakan diferensiasi gender pada kehidupan dan perilaku orang tuanya sebagai sebuah teladan. Ketika ia tidak melihat adanya perbedaan yang signifikan antara “sang Ayah” dan “sang Ibu”, baik dalam sikap, peran dan pembagian tugas kehidupan. Jika hanya salah satu orang tua yang mengambil peran ganda pendidikan fitrah seksualitas ini, atau bahkan seringkali saat ini yang terjadi adalah pertukaran peran Ayah dan Ibu yang tidak sesuai gendernya, maka yang akan terjadi adalah sexual and gender confuses (kebingungan gender dan identitas seksual) dalam identifikasi diri anak-anak. (Adriano Rusfi, 2018).

Lalu, bagaimanakah menumbuhkan fitrah seksualitas anak? Tentunya dalam menumbuhkan fitrah seksualitas anak, ada tahapan-tahaoan yang harus dilalui agar dapat tumbuh paripurna. Fitrah seksualitas jika dirawat dan ditumbuhkan sesuai dengan tahapannya dengan pendampingan penuh Ayah Bunda dari anak berusia 0-15 tahun kelak akan berujung pada peran Ayah dan Bunda sejati. Dan sebaliknya, jika tidak dirawat baik maka akan berakibat penyimpangan seperti LGBT, atau setidaknya kelak akan gagap menjalani peran KeIbuan dan KeAyahannya. (Harry Santosa, 2019).

Pada tahapan mendidik fitrah seksualitas, walau sosok ayah ibu senantiasa harus hadir secara lengkap dan utuh, namun dalam prosesnya akan memerlukan kedekatan yang berbeda-beda untuk tiap tahapannya. (Harry Sentosa, 2017).

Gambar 1. Tahapan Pendidikan Fitrah Seksualitas Anak.
(Sumber gambar : http://sharamaila.blogspot.com/2018/01/pendidikan-fitrah-seksualitas-review-4.html?m=1)

  1. Usia 0-2 tahun

Anak lelaki dan perempuan didekatkan pada ibunya karena ada masa menyusui.

  1. Usia 3-6 tahun

Anak lelaki dan perempuan harus dekat dengan ayah dan ibunya agar memiliki keseimbangan emosional dan rasional apalagi anak sudah harus memastikan identitas seksualitasnya sejak usia 3 tahun.
Kedekatan paralel ini membuat anak secara imaji dapat membedakan sosok laki-laki dan sosok perempuan dari ayah dan ibunya (maka disini peran seksualitas orang tua pun tidak boleh tertukar, karena anak sudah pada tahap meneladani).

Sehingga secara alamiah mereka paham menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya, baik cara bicara, cara berpakaian maupun cara merasa, berfikir dan bertindak sebagai laki-laki atau sebagai perempuan dengan jelas, tidak “abu-abu”. Ego sentris mereka harus bertemu dengan identitas seksualitasnya, sehingga dengan tegas berkata “aku laki-laki” atau “aku perempuan”.

HATI-HATI
Bila masih tidak jelas identitasnya di usia ini karena ketiadaan peran ayah ibu dalam mendidik, maka potensi awal homo seksual dan penyimpangan seksualitas lainnya sudah dimulai.

  1. Usia 7-10 tahun

Anak didekatkan dengan orang tua satu gender.

Anak laki-laki lebih didekatkan dengan ayah, karena pada usia ini ego sentris telah mereda dan bergeser pada sosiosentris, mereka sudah punya tanggung jawab moral, dan disaat yang sama pun ada perintah sholat.

Maka bagi para ayah, tuntun anak untuk memahami peran sosialnya, diantaranya adalah sholat berjamaah, bermain dengan ayah sebagai aspek pembelajaran untuk bersikap dan bersosial kelak, serta menghayati peran kelelakian dan peran keayahan di pentas sosial lainnya.

Ayah harus jadi lelaki pertama yang dikenang anak-anak lelakinya dalam peran seksualitas kelelakiannya. Dan Ayah pula yang menjelaskan pada anak laki-laki tatacara mandi wajib dan konsekuensi memiliki sperma bagi seorang lelaki.

Anak perempuan lebih didekatkan dengan ibu, agar peran keperempuanan dan keibuannya bangkit.

Maka bagi para Ibu, jadikanlah tangan anda sakti dalam merawat dan melayani, lalu jadikanlah kaki anda sakti dalam urusan keperempuanan dan keibuan.

Aktivitas bersama yang dapat dilakukan adalah memasak bersama, merawat adik, intinya anak perempuan menjadi partner Ibu dalam hal melayani.

Ibu harus jadi wanita pertama hebat yang dikenang anak-anak perempuannya dalam peran seksualitas keperempuanan.

Ibu pula orang pertama yang harus menjelaskan makna konsekuensi adanya rahim dan telur yang siap sibuahi bagi anak perempuan.

HATI-HATI
jika sosok ayah ibu tidak hadir pada tahap ini, maka inilah pertanda potensi homoseksual dan kerentanan penyimpangan seksual semakin menguat.

  1. Usia 10-14 tahun

Anak didekatkan dengan orang tua lintas gender, anak laki-laki dengan ibunya dan anak perempuan dengan ayahnya.

Inilah tahap kritikal, usia dimana puncak fitrah seksualitas dimulai serius menuju peran untuk kedewasaan dan pernikahan.

Di tahap ini secara biologis, peran reproduksi dimunculkan oleh Allah SWT secara alamiah, anak lelaki mengalami mimpi basah, dan anak perempuan mengalami menstruasi. Dan secara syahwati, mereka sudah tertarik dengan lawan jenis.

Maka pisahkanlah kamar anak laki-laki dan perempuan. Dan pisahkanlah selimut anak laki-laki dengan anak laki-laki, begitupun diantara dua anak perempuan.

Pada tahap ini pun (10 tahun) sudah ada warning keras apabila masih tidak mengenal Tuhan secara mendalam, seperti meninggalkan sholatnya.

Pada tahap ini juga masa terberat dalam kehidupan anak, yaitu masa transisi anak menuju kedewasaan termasuk menuju peran laki-laki dewasa dan keayahan (bagi anak laki-laki), peran perempuan dewasa dan keibuan (bagi anak perempuan).

Lalu, mengapa harus didekatkan dengan orang tua lintas gender?

Anak lelaki yang didekatkan dengan ibunya agar ketika ia baligh dan mengenal ketertarikan pada lawan jenisnya, maka ia akan berempati kepada perasaan wanita, karena sudah terdidik memahami perasaan wanita langsung dari sosok wanita terdekatnya, yaitu ibunya. Bagaimana kelak ia dapat memperhatikan, memahami, dan memperlakukan istrinya dengan baik dari kacamata seorang perempuan.

Anak perempuan yang didekatkan dengan ayahnya agar ketika ia baligh dan mengenal ketertarikan dengan lawan jenisnya, maka ia akan dapat berempati dan memahami bagaimana lelaki harus diperhatikan, dipahami, dan diperlakukan dari kacamata laki-laki. Hal ini terjadi karena ia sudah terdidik langsung dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya.

Kedekatan ayah dengan anak perempuannya di tahap ini juga penting, agar ia tidak mudah “digombali” oleh laki-laki, karena ia melihat sosok lelaki terbaik adalah ayahnya.

Keseluruhan tahap ini jika dilalui dengan paripurna maka akan menjadikan anak laki-laki menjadi laki-laki sejati yang siap dengan peran keAyahannya dan menjadikan anak perempuan menjadi perempuan sejati yang siap dengan peran keIbuannya.

Dan sebaliknya, jika tahap ini tidak paripurna maka akan terbentuklah laki-laki yang ke”perempuan”an, dan perempuan yang ke”laki-laki”an, perilaku sosialnya menjadi LGBT, karena mereka tidak “cukup” menerima hak dari orang tuanya, sehingga mereka mencari pemenuhan hak mereka dari orang lain yang akhirnya menjadi salah sasaran.

Ataupun jika tidak sampai terjadi penyimpangan perilaku, maka yang sering ditemukan saat ini adalah peran ayah ibu yang tertukar, misalnya Ibu lebih mendominasi dan tega, sedangkan Ayah sang pembasuh luka. Tentunya hal ini akan menimbulkan kebingungan gender dan efek dominonya adalah fitrah seksualitas anak yang tercederai, maka marilah kita kembali kepada peran seksualitas kita masing-masing, agar kita dapat menumbuhkan peran seksualitas anak dengan paripurna.

Lalu, bagaimana peran ayah ibu yang sesuai dengan fitrahnya?


Gambar 2. Fitrah Peran Ayah vs Fitrah Peran Ibu.
(Sumber gambar : buku Fitrah Based Education)

Pada tahapan pendidikan fitrah seksualitas anak, selain peran orang tua sangat berpengaruh, tentunya peran lingkungan pun menjadi sebuah support system agar pendidikan fitrah ini berjalan dengan paripurna. Lalu bagaimana lingkungan yang dapat mendukung untuk menumbuhkan fitah tersebut, Ustadz Harry Sentosa dalam kuliah umum pengayaan materi matrikulasi Institut Ibu Profesional Batch 7 menyampaikan perihal support lingkungan ini.

Fitrah ditumbuhkan dan dirawat dalam lingkungan yang harus sesuai tahapan usia.

1. Bagi usia dini, 0-6 tahun

lingkungan terbaik dan sosial terbaik adalah dengan ayah dan ibunya serta lingkungan keluarga dan alam terdekat. Di usia ini harus cukup steril namun bukan berarti dikurung, tetapi dipilihkan yang menumbuhkan semua (8 aspek) fitrah. Maka jika kita berada di lingkungan buruk, sebaiknya hijrah dan mencari lingkungan yang baik.

Pada masa ini ayah Ibu berperan sebagai fasilitator bukan instruktur.

2. Bagi usia 7 - 10 tahun

Lingkungan terbaik adalah di alam, ini usia eksplorasi atau mengembara. Di usia ini, anak harus disibukkan perhatiannya pada beragam aktivitas menjelajah yang seru. Lingkungan sebaiknya tidak terlalu steril, karena anak-anak harus imun (kebal) dengan lingkungan yang tidak terlalu steril. Tetapi tidak pada lingkungan sangat buruk.

Peran Ayah Ibu sebagai guide dan instruktur dalam kegaiatan penuh makna secara bertahap.

3. Bagi usia di atas 10 tahun

Anak berada pada lingkungan yang harus membuatnya tangguh.

Di masa ini pendidikan fitrah anak diuji, apakah proses sebelumnya sudah yumbuh paripurna atau belum, maka jika belum tumbuh secara paripurna, orangtua harus mengulangi proses pendidikan fitrah anak agar menjadi paripurna (mengevaluasi).

(Harry Sentosa, 2019).

Selalu Ada tahapan dalam mendidik anak, jangan sibuk merawat anak tanpa disesuaikan dengan tahapannya dan tanpa usaha menumbuhkan fitrah itu jadi kebaikan, hal ini akan menjadikan “kelelahan” di masa tua orang tua, karena anak yang tidak tumbuh sesuai fitrahnya, akan selalu menjadi anak-anak walaupun “bungkusnya” adalah orang dewasa.


Referensi :

Santosa, Harry. Fitrah Based Education. Yayasan Cahaya Mutiara Timur. Cetakan ketiga. 2017

Rusfi, Adriano.dkk. Menjadi Ayah Pendidik Peradaban. Hijau Borneoku. Cetakan kedua. 2018.

Maila, shara. Pendidikan Fitrah Seksualitas Review 4. http://sharamaila.blogspot.com/2018/01/pendidikan-fitrah-seksualitas-review-4.html?m=1. Diakses pada 22 Februari 2019.

Santosa, Harry. Kuliah Umum Pengayaan Pendidikan Berbasis Fitrah. Telegram Channel Enrichment Matrikulasi Institut Ibu Profesional Batch 7. 22 Februari 2019.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sepelekan Limbah Kulit Udang

Moms, suka sebel gak sih sama limbah kulit udang yang kalau kita diamkan beberapa saat saja aromanya seperti bau busuk bangkai dan juga mengundang lalat, jadi kesannya jorok sekali ya. Bikin jadi malas mengolah udang karena persoalan limbah kulitnya sangat menggangu sekali, sampai-sampai jadi bulan-bulanan orang rumah 😒😢. Nah sekarang Moms tidak perlu khawatir lagi, karena mensiasati limbah kulit udang agar tidak beraroma busuk itu ternyata sangat mudah, cukup rebus kulit udang sampai berwarna kemerahan, setelah itu kita saring dan buang airnya baru deh kita buang di tempat sampah, insyaAllah gak ada lagi aroma-aroma luar biasa menyengat itu 😁. Tapi ternyata bagi Moms penggiat zero waste, alih-alih membuang limbah kulit udang ini ke tempat sampah, ternyata limbah kulit udang yang tadi telah direbus bisa dilanjutkan perlakuannya hingga menjadi kaldu kulit udang loh Moms, caranya pun sederhana. 1. Cuci Limbah kulit udang dan rebus dengan air secukupnya sampai warna kulit u...

JURNAL REFLEKSI FASILITATOR MATRIKULASI BATCH 7 SESI 7

Rasanya seperti panen durian, minggu ini judulnya analisa ST30, baik yang punya matrikan, pun yang punya pengurus regional. Qodarullah, timingnya pas banget antara NHW #7 Matrikulasi ini, dengan NHW Training Manajer TnC. Rasanya kek, ah syudahlah. Alhamdulillah sama Allah dikasih banyak latihan buat baca hasil ST30, biar kemampuan analisis nya makin ciamik 😁, menikmati apapun kondisi yang diberikan oleh Allah, agar waras menjalankan peran. Bahagia? Belum pada level bahagia banget sih, tapi ndak yang bikin stress banget, hanya memang ketika ingin merambah profesional, tetiba sang anak meminta perhatian atas waktu mamaknya yang banyak berkurang untuknya saat ini. Mulai protes ketika mamak pegang HP, wah lagi-lagi disini ilmu matrikulasi diuji. Ketauan fasilnya belum pada tahap Be Do Have. Duh.